HUJAN DI KOTA DAN ANAK KECIL ITU

Lebat hujan itu

Dinginnya menyelubungi langkah kaku

Aku mula menyusur di bawah langit mendung

Melihat Anak kecil di luar itu merintih

Wajahnya termangu sayu

Menahan perit dan gusar

Dibasahi hujan yang mencurah

Itulah perjuangan mencari kesempurnaan

Inilah kemodenan

Inilah kemajuan

Kita hidup dalam tamadun hebat.

Lebat Hujan itu

Mengalunkan rentak yang bertaburan

Dalam ketenangan jiwa yang kontang

Aku resah walau tak basah

Aku gelisah walau hujan tak diredah

Anak kecil itu mendongak simpati

Mengharap ihsan dari yang memberi

Walau menggigil di tapak mandiri

Inilah hakikat

Inilah matlamat

Kita hidup dalam mengejar harakat.

Lebat hujan itu

Dinginnya semakin hilang

Ketika mentari mula mengintai.

Aku harus maju ke hadapan

Walau anak kecil itu terkapai-kapai

Bagaikan karam di lautan kota

Untuk menggapai perahu penyelesaian

Dalam arus permodenan kemajuan

Inilah perjuangan

Inilah persaingan

Kita hidup dalam mengejar kemewahan

Lebat Hujan itu

Akhirnya usai

Ketika perasaan dibuai kejayaan.

Aku melihat dan aku terpaku

Aku mengucap dan aku terkedu

Anak kecil terbaring kebasahan

Lena dalam kesejukan

Bersama tin kosong dan  perut kosong

Itukah kejayaan?

Itukah kehebatan?

Demi  meneruskan hayat

Dalam kota yang hebat.

Aku sampai ke destinasi

Aku tak mengalah walau peritnya rintangan

Tapi jiwaku mula menangis

Dan aku tewas oleh simpati

Mengenang nasib anak kecil itu

Yang mula menyedarkan aku

Ada yang lebih hebat dari perjuanganku

Ada yang lebih penting dari matlamatku.

Akhirnya aku terkelu dan tertunduk pilu.

2012

IBUKU BUKAN PENDUSTA

Detik berlalu di kaki waktu

Menghurai belenggu Sang Pemimpi

Telah pasti dinihari sepi

Mentari menjamah rasa

Pada angin yang mula curiga

Dengan sengketa embun berlagu.

Aku menguak terkebil gigil

Rendang dedaun melambai senyum

Bagai ibu yang membelai harum

Aku ingin didukung

Dengan mulutku terlopong

Kerana aku hanya melihat

Dari ruang fikiran yang kaku

Badan hanya terbujur

Yang berperang dengan waktu

Ibu,

kau kau kah itu?

Desir bayu membisik daku:

“Di sinilah tempat kau

Bermain dengan alam.

Di sini ibumu menyatukan

Kau dengan alam.

Lalu kau harus tempuh sendiri

Beralaskan tikar takdir

Yang menentu rumah nasibmu.

Ibumu hanya pendusta

Membiarkan kau keseorangan

Menempuh duga sekitar

Antara gelandangan yang terbiar.”

Tak mungkin!

Ibuku bukan pendusta

Dia hanya terdesak oleh nafsu

Membiarkan takdir menentu hala tuju!

Bayu tersenyum sendu

Pohon melambai pilu

Aku memandang tanpa pengertian

Tentang pancaroba dunia

Tentang hakikat kehidupan

Yang terlanjur oleh godaan

Terjerumus dalam kancah penghinaan.

Ibu,

Aku tetap setia menanti

Kasih sayang sejati

Walau dalam mimpi

Kau datang mengucup dahiku.

2012